Katalisinfo.com, Yogyakarta – Dalam diri Girian Veriwinata, penyembuhan bukan sekadar praktik medis, melainkan laku kesadaran yang menyatukan tubuh, pikiran, dan roh. Sebagai praktisi pengobatan tradisional dan hipnoterapis klinis spesialis anak, ia meniti jalan sunyi di antara dua dunia, antara sains modern dan kebijaksanaan leluhur.
Dari pertemuan dua arus inilah lahir satu pandangan yang memprovokasi cara kita memahami kesehatan: bahwa kesejahteraan sejati (wellness) tidak hanya berarti sembuh dari penyakit, tetapi pulihnya kesadaran manusia akan jati dirinya sebagai bagian dari kehidupan yang utuh.
Girian percaya bahwa tubuh manusia menyimpan memori dan bahasa tersendiri (sastra raga) yang hanya bisa dibaca dengan kelembutan rasa. Ia sering mengutip falsafah Jawa, “Sapa ngerti rasa, bakal paham semesta,”—siapa yang mampu memahami rasa, akan memahami semesta. Dalam pandangan ini, terapi bukan proses mengendalikan tubuh, melainkan mendengarkan apa yang tubuh ingin sampaikan.
Maka, dalam setiap sesi penyembuhan, Girian bukan sekadar “mengobati,” tetapi “menyimak,” menuntun setiap individu untuk menafsir ulang makna sakit sebagai pesan dari kesadaran yang lebih dalam.
Melalui Panti Sehat Indonesia, ia membangun ruang yang tidak hanya memadukan pengobatan tradisional dan klinis, tetapi juga menjembatani antara ilmu dan laku. Ia menolak dikotomi antara medis dan spiritual, antara empiris dan mistis. Bagi Girian, keduanya hanyalah dua sisi dari satu kesadaran yang sama.
“Tubuh adalah cermin, pikiran adalah bayangan, dan energi adalah napas yang menautkan keduanya,” ujarnya dalam salah satu pelatihannya.
Karya dan laku Girian banyak dipengaruhi oleh pandangan holistik-humanistik yang juga berkembang dalam ilmu kedokteran modern. Dalam perspektif akademik, pendekatannya sejalan dengan integrative medicine, suatu paradigma yang melihat manusia bukan sebagai kumpulan organ, melainkan sistem kesadaran yang dinamis. Ia menempatkan aspek wellness bukan hanya pada tubuh yang sehat, tetapi pada kemampuan seseorang untuk hidup selaras dengan makna dan arah hidupnya.
Sebagai bagian dari Cakra 369, Girian memahami penyembuhan sebagai proses resonansi energi kesadaran. Ia sering menggambarkan manusia seperti frekuensi yang bisa selaras atau kacau.
“Sakit adalah ketika nada diri kita fals,” katanya. Maka, proses penyembuhan bukan semata pemberian obat atau sugesti, tetapi penyetelan harmoni.
Di sinilah hipnoterapi, meditasi, dan metode penyembuhan tradisional Jawa menjadi jembatan bagi kembalinya irama keseimbangan antara cipta, rasa, dan karsa.
Dalam konteks filsafat Jawa, Girian memaknai penyembuhan sebagai jalan pulang menuju “sangkan paraning dumadi,” asal dan tujuan manusia. Ia percaya bahwa anak-anak, yang menjadi fokus keahliannya dalam hipnoterapi, menyimpan kemurnian kesadaran yang sering kali terdistorsi oleh dunia dewasa yang penuh tekanan dan ketakutan. Dengan pendekatan lembut, penuh empati, dan diselimuti doa, ia berupaya mengembalikan cahaya alami dalam diri anak-anak itu, membangunkan kembali potensi kesadaran mereka yang murni.
“Anak itu guru bagi orang dewasa,” katanya. “Mereka mengajarkan cara menjadi jujur kepada perasaan, dan itu adalah awal dari semua penyembuhan.”
Dalam pandangan akademik kontemporer, hal ini sejalan dengan gagasan mind–body–energy connection, yang menyatakan bahwa emosi dan kesadaran batin memengaruhi kondisi fisiologis seseorang. Namun bagi Girian, teori hanyalah cermin, realitas penyembuhan sejati terjadi ketika seseorang mengalami transformasi langsung di dalam dirinya.
Sebagai penyembuh, ia tidak menempatkan diri sebagai pusat, melainkan sebagai saksi. Ia menyadari bahwa kesembuhan sejati tidak diberikan, tetapi tumbuh dari dalam. “Aku hanya memegang lentera,” katanya lirih, “jalanmu tetap harus kau tempuh sendiri.”
Kegigihan Girian menjembatani dunia medis dan tradisi Nusantara menjadikannya sosok yang memadukan pengetahuan modern dengan kebijaksanaan kuno. Ia meyakini bahwa masa depan kesehatan manusia bukan terletak pada teknologi semata, tetapi pada kesadaran untuk hidup seimbang dengan alam dan diri sendiri.
“Rasa iku guru sejati, lan sabar iku kawruh kang ora ana enteke.”
Rasa adalah guru sejati, dan kesabaran adalah pengetahuan yang tiada ujungnya.
Dalam laku hidupnya, Girian Veriwinata menjelma bukan hanya sebagai penyembuh, melainkan penjaga kesadaran. Ia hadir bukan untuk menentramkan pikiran semata, tetapi untuk membangunkan jiwa—agar manusia kembali mengenal dirinya, dan melalui pengenalan itu, menemukan kesehatannya yang paling hakiki: keseimbangan antara raga, rasa, dan cahaya. (Ist)
Katalis Info – AKtual,Informatif,Terpercaya Aktual,Informatif.Terpercaya