Katalisinfo.com, Yogyakarta – Pidato pengukuhan Prof. Dr. Heribertus Jaka Triyana sebagai Guru Besar dalam bidang Hukum Hak Asasi Manusia Internasional di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menandai sebuah momentum penting bagi kajian hukum internasional di Indonesia. Dengan tema “Tantangan Indonesia terhadap Konflik Bersenjata di Laut”, Prof. Jaka tidak hanya menyampaikan pemetaan normatif atas hukum laut dan hukum humaniter, tetapi juga mengajukan refleksi kritis mengenai posisi Indonesia dalam percaturan global yang semakin sarat dengan ketegangan geopolitik.
Laut sebagai Ruang Hidup, Bukan Semata Arena Konflik
Pidato ini menggarisbawahi bahwa laut tidak boleh dipandang sekadar sebagai arena perebutan kekuatan militer dan kepentingan geopolitik, tetapi harus dipahami sebagai ruang hidup bersama (global commons) yang memuat hak-hak asasi manusia, keberlanjutan lingkungan, dan kepentingan generasi mendatang. Hal ini sejalan dengan semangat Deklarasi Juanda 1957 dan UNCLOS 1982 yang mengafirmasi posisi Indonesia sebagai negara kepulauan.
Refleksi Prof. Jaka menegaskan, ketika konflik bersenjata terjadi di laut, dampak yang ditimbulkan tidak hanya berupa kerugian militer, tetapi juga korban sipil, rusaknya ekosistem, serta terganggunya aktivitas ekonomi global. Dengan demikian, hukum humaniter internasional dan hukum laut internasional dituntut untuk saling melengkapi dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan militer dan perlindungan kemanusiaan.
Ketegangan UNCLOS dan LONW: Ambiguitas Hukum Internasional
Salah satu kontribusi intelektual pidato ini terletak pada analisis relasi antara United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) dan Law of Naval Warfare (LONW). UNCLOS secara normatif dirancang untuk situasi damai, sementara LONW berlaku dalam konteks konflik bersenjata. Ketegangan lex specialis–lex generalis antara keduanya menimbulkan ambiguitas hukum, terutama ketika negara-negara menggunakan justifikasi keamanan nasional untuk mengabaikan prinsip perlindungan lingkungan laut.

Dilema ini semakin nyata ketika negara-negara besar melakukan militerisasi di kawasan rawan sengketa, seperti Laut Tiongkok Selatan. Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan posisi strategis di antara Samudra Hindia dan Pasifik, berhadapan langsung dengan implikasi geopolitik tersebut.
Pelajaran dari Sri Lanka: Integrasi Hukum Nasional dan Keamanan Maritim
Menariknya, Prof. Jaka mengajukan studi komparasi dengan Sri Lanka sebagai contoh negara kepulauan yang mampu merancang regulasi domestik untuk menghadapi ancaman maritim non-tradisional, termasuk pembajakan dan terorisme laut. Melalui Piracy Act dan Coast Guard Act, Sri Lanka berhasil mengintegrasikan hukum nasional dengan kerja sama internasional, misalnya lewat platform IORIS (Indo-Pacific Regional Information Sharing).
Indonesia, sebaliknya, masih menghadapi kekosongan hukum dalam mengatur konflik bersenjata non-internasional di laut. Ketiadaan norma domestik yang eksplisit membuat aparat kesulitan membedakan antara tindak kriminal maritim dan konflik bersenjata, sehingga berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM serta kerusakan ekosistem laut.
Prinsip Due Regard dan Perlindungan Lingkungan Laut
Pidato ini juga menekankan prinsip due regard dalam UNCLOS, yaitu kewajiban pihak-pihak yang bertikai untuk tetap menghormati keselamatan navigasi dan kelestarian lingkungan laut. Namun, dalam praktiknya, prinsip ini sering diabaikan, terutama di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara netral. Akibatnya, operasi militer dapat mengancam biodiversitas laut, merusak habitat pesisir, dan mengganggu pemenuhan hak-hak dasar masyarakat, khususnya nelayan.
Di sinilah relevansi San Remo Manual 1994 menjadi penting, karena instrumen ini menegaskan kewajiban pihak-pihak bertikai untuk tidak melakukan tindakan permusuhan di kawasan dengan ekosistem rapuh atau spesies terancam punah. Dengan kata lain, perlindungan lingkungan laut adalah bagian integral dari perlindungan HAM internasional.
Rekomendasi: Indonesia sebagai Pelopor Tata Kelola Maritim Global
Sebagai penutup, Prof. Jaka menyerukan agar Indonesia tidak hanya bertahan dalam dinamika geopolitik, tetapi juga tampil sebagai pelopor tata kelola maritim global berbasis hukum internasional, HAM, dan keberlanjutan. Hal ini mencakup tiga agenda utama:
1. Penguatan regulasi domestik yang mengintegrasikan hukum laut, hukum HAM, dan hukum humaniter internasional, khususnya terkait konflik bersenjata non-internasional.
2. Pengembangan institusi maritim nasional seperti Bakamla agar memiliki kewenangan jelas setara dengan Coast Guard di negara lain.
3. Diplomasi maritim proaktif, menjadikan Indonesia sebagai penggerak utama dalam pembentukan norma internasional baru yang responsif terhadap ancaman modern, termasuk penggunaan teknologi militer berbasis kecerdasan buatan.
Refleksi Akhir
Pidato pengukuhan ini bukan hanya capaian akademik pribadi, melainkan juga refleksi kolektif bangsa Indonesia. Dengan luas laut 6,4 juta km² dan lebih dari 17.000 pulau, Indonesia tidak punya pilihan selain memperkuat tata kelola laut yang berkeadilan, humanis, dan berkelanjutan.
Sebagaimana ditegaskan Prof. Jaka, tantangan utama Indonesia adalah memastikan bahwa hukum internasional tidak hanya menjadi dokumen normatif, melainkan juga instrumen nyata untuk melindungi manusia dan lingkungan di tengah konflik bersenjata maritim. Dengan visi demikian, Indonesia berpotensi menjadi arus utama diplomasi hukum laut global, sekaligus menjadikan laut bukan lagi ruang perebutan kuasa, tetapi ruang peradaban yang menjunjung martabat manusia dan keberlanjutan ekologi. (Yuli)
Katalis Info – AKtual,Informatif,Terpercaya Aktual,Informatif.Terpercaya